Rabu, 27 Maret 2013

Raja Bone VIII (La Inca)

Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung.

Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.

Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.

Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.

Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya ; ”Ada apa gerangan di Bone?” Dengan ketakutan orang Bone berkata ; ”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.

Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.

I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.

Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri. “Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”. Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka.

Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.

Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).

Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.

We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.

Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.
Read More

Senin, 07 Januari 2013

Raja Bone VII (La Tenri Rawe Bongkangnge’ 1568-1584)

La Tenri Rawe BongkangE naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke. Dari isterinya Arung Timurung melahirkan La Maggalatung yang dipersiapkan sebagai ana’ pattola, namun meninggal dunia semasa kecil. Anak kedua La Tenri Sompa dipersiapkan menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh seorang bernama Dangkali. 

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai rakyatnya karena memiliki Sifat - sifat terpuji : berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa. Arumpone La Tenri Rawe-lah yang pertama kali membagi dan menata struktur pemerintahan lebih baik (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanua (daerah). 

Dimasa kekuasaannya, Gowa mengingkari Ulu Ada’ (perjanjian) pendahulunya dan melakukan serangan militer sebanyak empat kali. Serangan militer pertama dalam tahun 1562 merupakan buntut pertemuan kenegaraan antara Raja Bone dan Gowa yang dimeriahkan dengan sabung ayam. Taruhan Raja Gowa sebesar 100 kati emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Ayam sabungan Gowa berwarna merah, ayam sabungan Gowa mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone”. Peristiwa sabung ayam kedua raja yang sedang menanjak pengaruhnya di semenanjung barat dan timur ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan sabung ayam yang mempertandingkan kesaktian dan kharisma Raja Bone dengan Raja Gowa. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Ilustrasi
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian charisma Raja Gowa oleh Raja Bone sehingga Tragedi ini dipandang sebagai Siri’. Sabung ayam itu sendiri menempatkan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil disekitarnya yang dengan sukarela menggabungkan diri sebagai palili (bawahan) Bone. Negeri Ajangale’, Awo, Teko dan Attassalo menyatakan diri bergabung. Tellu Limpue juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan didudukkanlah sebagai palili Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa (Raja Gowa) bertambah marah sepulang ke Gowa langsung mempersiapkan serangan militer ke Bone. (Makkulau, 2009). 

Pengintegrasian Tellu Limpoe dengan Bone, dijadikan dalih Gowa melancarkan serangan militer melalui jalan darat via Camba dengan jalan kaki atau naik kuda. Serangan Gowa selanjutnya selalu naik perahu via Teluk Bone. Perang tersebut diakhiri dengan gencatan senjata. Paska Perang itu, Datu Soppeng Rilau La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE yang diturunkan dari takhtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Di Bone, ia kawin dengan saudara Arumpone We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo. Saudara Arumpone We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng yang kawin dengan sepupu satu kalinya bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek Arung Palakka MatinroE ri Bontoala.  (Lontaraq Akkarungeng ri Bone dalam Makkulau, 2009).  

Ambisi Gowa untuk menaklukkan Bone tak pupus. Tak lama setelah itu Gowa kembali melancarkan serangan militer kedua dan terjadilah perang di Cellu selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Perang ini terjadi dalam tahun 1563. Dua tahun kemudian Gowa menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung tujuh hari tujuh malam, pasukan Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, namun dalam serangan militer ketiga (1565) ini Raja Gowa tiba-tiba terserang penyakit yang membuatnya harus kembali ke Gowa. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia. 


Serangan Gowa yang bertubi – tubi itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bone untuk melakukan serangan balasan terhadap Gowa. Namun sejauh itu Bone tetap bersikap defensif. Pengganti Raja Gowa Daeng Bonto, I Tajibarani Daeng Manrumpa Karaeng Data Tunibatta (1565), lebih berambisi lagi untuk menaklukkan Bone. Dengan kekuatan angkatan perang yang lebih besar daripada serangan (ke-1, ke-2, dan ke – 3), I Tajibarani menyerang Bone. Hanya kurang dua bulan kemudian, serangan militer kembali digencarkan. Mendengar Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone, Begitu pula orang Limampanua Rilau Ale’ yang berkedudukan di Cinennung dan orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. (Kasim, 2002).

Serangan militer keempat Gowa dalam tahun 1565 tersebut dilukiskan BF Matthes dalam, ”Boegineesche Chrestomathie” sebagaimana dikutip dalam Sejarah Bone (Abdur Razak Dg Patunru, tt) sebagai berikut, ”Begitu hebat serangan laskar Gowa kali ini, sehingga beberapa daerah bawahan Kerajaan Bone dapat didudukinya antara lain Ajangale dan Awangpone. Gowa membangun bentengnya di Pappolo. Serangan laskar Gowa kali ini luar biasa, bertambah luas Daerah Bone dikuasai dalam waktu singkat, sampai – sampai dapat menerobos masuk ke Bukaka dan Takke Aju’. Pada hari yang terakhir matahari agak condong ke barat, saat laskar Gowa menghalau ternak dan harta rampasannya, dapat dicegat lasykar Bone yang jumlahnya cukup besar. Banyak lasykar Gowa yang gugur pada waktu itu. Akhirnya Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Manrumpa Karaeng Data, terpancung oleh laskar Bone, yang menyebabkan Raja Gowa tewas di medan laga. Prajurit Bone yang berhasil memancung Raja Gowa ini bernama La Tunru”. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Dengan gugurnya I Tajibarani, Raja dan panglima pasukan Kerajaan Gowa, maka lasykar Gowa menyerah tanpa syarat. Maka diadakanlah perjanjian perdamaian di Caleppa (lokasi Caleppa 4 km di sebelah utara Watampone) di akhir Tahun 1565 yang dikenal dengan nama ”Ulu adae ri Caleppa”, dihadiri oleh delegasi Bone, KajaoLaliddong dan Raja Bone La Tenrirawe Bongkange, serta delegasi Gowa, Mangkubumi Gowa (Raja Tallo) I Mappataka Tana Daeng Padulung. Dalam perjanjian itu ditetapkan : (1) Bone meminta kemenangan – kemenangan, yaitu kepadanya harus diserahkan daerah – daerah sampai ke Sungai Walanae di sebelah barat dan sampai di daerah Uloe di sebelah utara. (2) Sungai Tangka akan menjadi perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah kekuasaan Gowa disebelah selatan. (3) Supaya negeri Cenrana masuk daerah kekuasaan Bone, karena Cenrana dahulu memang sudah ditaklukkan oleh Bone yang bernama ‘La Tenrisukki Mappajunge’, yaitu sebagai kemenangan dalam peperangan melawan Raja Luwu yang bernama Dewaraja. 

Kemenangan militer Bone atas Gowa memaksa Gowa untuk mengakui batas – batas wilayah Kerajaan Bone. Pengganti Raja Gowa, I Tajibarani ialah putera mahkota, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1566 – 1591), menerapkan pendekatan diplomatik dan sikap lunak terhadap Bone. Bone dan Gowa mengaktualisasikan kembali Perjanjian Tamalate tahun 1540. Dual entente antara Gowa dengan Bone yang kedua ini (1566) menetapkan : (1) Musuh salah satu diantara mereka adalah musuh bersama, (2) Orang Gowa yang ke Bone atau orang Bone ke Gowa, adalah seperti mereka datang ke negerinya sendiri. Raja Gowa, Karaeng Bontolangkasa mengubah politik luar negerinya terhadap Bone dari pendekatan militer menjadi pendekatan diplomatik, dari sikap bermusuhan menjadi sikap bersahabat, menciptakan kondisi hidup berdampingan secara damai. 

Pada saat itu terjadi pula Serangan militer Luwu ke Bone, mungkin didasarkan pada prakiraan bahwa Bone masih dalam keadaan lemah akibat perang yang berkepanjangan dengan Gowa. Kemarahan Bone terhadap Luwu karena Datu Luwu Sanggariya karena Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanua Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh Bone. Untuk memperkuat kedudukan Bone, Arumpone La Tenri Rawe menjalin kerjasama dengan Arung Matowa Wajo To Uddamang dan Datu Soppeng PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk jalinan kerjasama regional antara Bone, Soppeng dan Wajo. Di Cenrana, ketiga raja bersepakat pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai waktu yang ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, Soppeng dan Wajo di Bunne. Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso’ (Soppeng). 

Dalam pertemuan itu Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin kita hubungkan tanah kita bertiga, sedang Wajo adalah kekuasaan Gowa dan Bone juga punya hubungan dengan Gowa”. Arumpone menjawab, ”Yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan Arung Matowa Wajo. Berkata PollipuE ri Soppeng, ”Bagus Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab bersaudara itu berarti sejajar”. Arumpone menjawab, ”Bagaimana Arung Matowa, sebab apa yang dikatakan PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab, ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone, ”Saya setuju, tidak apalah saya berikan tanah kepada Soppeng untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo, ”Bagus Arumpone, saya juga berikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata, ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”. Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo, ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE’, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”. Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong, ”Janganlah dulu menanam batu itu, Kajao ! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”. 

Dengan pendekatan diplomatik, La Tenrirawe Bongkange’ berhasil menggabungkan kekuatan Bone, Soppeng dan Wajo di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Dalam bahasa Bugis disebut “Mattellumpoccoe ri Timurung”. Substansi kesepakatan menunjukkan bahwa ketiga kerajaan secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka sekaligus mengamankan daerah lumbung padi (Bone, Soppeng dan Wajo). Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu (Kasim, 2002). Di akhir hayatnya, La Tenri Rawe BongkangE digelari MatinroE ri Gucinna karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci.
Read More

Sabtu, 29 Desember 2012

Andi Taufan Tiro, Politisi Muda yang Kreatif

ATT (Andi Taufan Tiro), politisi muda, wirausahawan, profesional, yang kini maju sebagai Calon Bupati Kabupaten Bone (2013-2018), adalah putera asli kelahiran Bone, Sulawesi Selatan. Bersama Partai Amanat Nasional (PAN), jaringan pendukung, dan kekuatan politik lain, dirinya terus bekerja keras dan cerdas. Agar bisa lolos sebagai pemenang. Sokongan penuh juga berasal dari pendampingnya, Calon Wakil Bupati Kabupaten Bone, yaitu Andi Promal Pawi. Sungguh, dua nama ini, yang dikenal dengan inisial ATT-PRO, adalah energi besar dalam menggerakkan aneka perubahan di Bone. Karena menggabungkan dua kombinasi penting dalam menghela pembangunan, yaitu politisi-profesional dengan birokrat-pengabdi publik.

Andi Taufan Tiro
Saat ini, Andi Taufan Tiro tercatat sebagai Anggota DPR RI, Fraksi PAN. Beliau mengabdi di Komisi V DPR RI, yang membidangi infrastruktur, perumahan rakyat, perhubungan, BMKG, dan pembangunan daerah tertinggal.Sebelum menyandang status legislator (anggota DPR), Andi Taufan Tiro adalah pengusaha dan profesional muda. Kiprahnya berpijak di dua poros, yaitu di daerah (Makassar dan Bone) dan di pusat (Jakarta). Hingga itu, tak heran namanya beredar di mana-mana. Sosoknya pun dikenal sebagai wirausahawan muda yang ulet, tangguh, dan kreatif. Sejatinya, semua petik kemampuan yang ia raih, tak datang tiba-tiba. Melainkan berasal sedari muda.

Sejak masa belia, Andi Taufan Tiro dikenal sebagai anak yang suka belajar. Disiplin dalam menekuni ilmu. Meski sebagaimana anak-anak seusianya, ia juga terkenal bandel. Hingga itu, dikalangan sanak-saudara, ia tak selalu dipanggil dengan nama aslinya, melainkan juga dengan sebutan Anak yang nakal.

Berikutnya, di masa remaja dan muda, ketekunannya untuk belajar dan mencintai pengetahuan tak pernah bergeser. Anehnya, hal ini juga diikuti oleh kenakalannya yang kian menjadi. Ia terkenal sebagai pelajar yang “bergaul” di kalangan kelompok yang suka bikin onar. Tapi tentu, ada batas dan prinsip tertentu, yang tak pernah ia langgar. Misalnya, tak pernah berani mencederai amanat orang tua.

Masa pencarian jati diri itupun berlanjut ketika duduk di kursi perguruan tinggi. Kadar emosionalnya mulai sedikit matang, meski kiprah sebagai anak muda yang gaul tetap berlangsung. Namun satu hal yang di saat itu sudah jelas: ia mencintai ilmu-ilmu eksakta. Tak ayal, ia pun cukup mudah mengikuti aneka mata kuliah di Fakultas Teknik, di salah satu perguruan tinggi di Makassar.

Melihat profil singkatnya itu, tak heran jika Andi Taufan Tiro kini berkibar sebagai politisi muda yang selalu menggerakkan aspirasi perubahan dan perbaikan. Lantaran ia memiliki latar keilmuan yang sepadan, juga perjalanan hidup yang keras penuh tantangan, serta jejak profesionalitasnya yang membutuhkan kecerdasan berkreasi.
Read More

Jumat, 28 Desember 2012

Febrian Adhitya, Putra Bone Sukses di Sinema

Febrian Adhitya
Satu lagi karya anak bangsa yang harus diberikan apresiasi. Febrian Adhitya kelahiran  Bone, 02 Februari 1972. Dia dibesarkan di Desa Pattimpa, Kecamatan ponre dan dia menghabiskan masa kecilnya di kampung tersebut.

Febrian Adhitya menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Pattimpa dan SLTP-nya juga di desa tersebut. Febrian yang dikenal semasa kecilnya namanya Herman melanjutkan pendidikan menengah atas di SUMP Waetuo, Kecamatan Tanete Riattang Timur.

Setelah tamat di SUMP Waetuwo, hati Febrian bergejolak dan membuang diri di Jakarta. “Saya membuang diri di Jakarta setelah tamat di SUMP dan di Jakarta.” Ungkapnya saat Lounching Film di Kecamatan Ponre, Selasa (3/4).

Lanjut dia menceritakan, di Jakarta dia dipungut oleh ‘Orang Film’ dan dibesarkan bahkandisekolahkan oleh orang itu. “Dia adalah H. Berti Ibrahim,” sambungnya sambil melirik kea rah H. Berti yang duduk di sebelahnya.
    
Febrian menceritakan pengalamannya dengan meneteskan air mata. “ saya disekolahkan oleh H. Berti Ibrahim sampai berhasil meraih gelar Master (S.2) Sinematografi. Dari perjalanan hidup saya, saya banyak bergaul dengan dunia perfilmandan akhirnya saya bias jadi sutradara dan produser sekaligus actor. Sekarang bekerja sebagai staf Ahli Kementrian Pariwisata dan ekonomi kreatif,” kuncinya.

Sumber : Tribun Bone
Read More

Jumat, 07 Desember 2012

Raja Bone VI (La Uliyo Bote’E 1543 – 1568)

La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang. La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’. Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate.

”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.

Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong. Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo. Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa,”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”.

Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.La Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.La Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang.

Setelah sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung. Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE. Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE. Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara.’ Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju. Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.
Read More

Senin, 03 Desember 2012

Goa Mampu, Goa yang Terkutuk

Goa Mampu adalah gua terluas di Sulawesi Selatan, legenda gua Mampu ini jauhnya kira-kira 140 km dari kota Makassar dalam penambahan untuk stalagmites dan stalagtites terdapat susunan batu yang mirip dengan sosok manusia dan binatang, semuanya memiliki legenda yang nyata.Gua yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini, tidak hanya sekedar gua. Terlebih buat masyarakat di sekitar Gua Mampu, demikian nama gua ini. Gua Mampu, sarat dengan cerita legenda yang begitu dipercaya.

Akses Masuk Menelusuri Goa Mampu
Gua Mampu yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, yang berjarak 34 kilometer dari Watampone, ibukota Kabupaten Bone.

Legenda Alleborenge Ri Mampu, yang berkembang seputar gua, diyakini secara turun-temurun, sebagai suatu kebenaran. Konon, di Gua Mampu ini pernah berdiri Kerajaan Mampu. Namun karena kutukan dewa, penghuni kerajaan ini, termasuk binatang dan benda-benda lainnya berubah menjadi batu.Bongkahan batu yang mirip manusia, binatang, dan lainnya, memang banyak ditemui di dalam gua ini. Gambaran ini bak diorama kehidupan manusia di jaman dulu, di masa-masa Kerajaan Mampu.

Sepasang muda-mudi yang dikutuk karena melakukan Perbuatan Asusila
Legenda yang berkembang tentang Gua Mampu ini, juga ditemui dalam lontar Bugis kuno, yang berkisah tentang perkampungan yang terkena kutukan sang dewata. Di dalam Gua Mampu, juga ditemui stalagtit dan stalagmit,yang menambah keindahan interiornya.Gua yang terbentuk dari proses alam, selama ratusan tahun ini, belum seluruhnya berhasil ditelusuri. Bahkan belum separuhnya. Baru 700 dari 2000-an meter persegi yang berhasil dilihat.


Namun demikian, cerita legenda yang berkembang pada masyarakat tentang Gua Mampu, telah membuat gua ini dikunjungi banyak orang. Motivasinya macam-macam.ada yang sekedar melihat-lihat, ada pula yang mencari berkah,yang rela bermalam di dalam gua.
 
Buaya yang diyakini dikutuk mejadi Batu
Para pengunjung,tidak bisa langsung begitu saja memasuki gua. Mereka harus melengkapi dirinya dengan alat penerangan. Sejumlah bocah kecil dengan obor bambu di tangan, telah siap mengantar pengunjung menelusuri gua. Bocah-bocah ini selain menyewakan obor bambunya, juga mampu menjadi pemandu gua yang baik. Mereka paham cerita seputar gua,lengkap dengan bumbu-bumbunya.

Seekor rusa yang masuk dalam perangkap
Perempuan yang sedang melahirkan ikut menjadi batu
Seorang putri dan Seekor anjing yang diyani menjadi penyebab dikutuknya tempat ini
Hari Minggu, dan hari besar keagamaan, menjadi hari-hari yang ditunggu anak-anak ini. Pada saat-saat itu pengunjungnya membludak, yang artinya mendatangkan rezeki lebih banyak buat mereka. Selama 2 jam mendampingi pengunjung gua, biasanya anak-anak kecil seperti Budi ini, mendapat tips lima ribu rupiah.  

Sayangnya, obor bambu yang banyak dipakai ini, asapnya menyisakan arang hitam yang menempel di atap dan dinding gua. Sehingga kesan kotor, sulit dihindari. Namun meski demikian, kawanan kalelawar yang bersarang di gua ini, masih setia mendiami Gua Mampu. Bahkan kehadirannya yang telah puluhan tahun ini, mewarnai Gua Mampu. Kesakralan Gua Mampu, masih terjaga hingga kini. Terlepas dari cerita-cerita rakyat Goa Mampu, seyogyanya ada nila pembelajaran yang bisa kita petik dari kejadian tersebut. Tinggal bagaimana masyarakat sekitar gua, menjaga cerita legenda yang menghiasi gua ini.
 

http://songkeng-bonekoe.blogspot.com/

 

 



 
Read More

Raja Bone V (La Tenri Sukki 1516 – 1543)

Dalam  Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa Raja Bone V, La Tenrisukki adalah pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. Arumpone ini kawin dengan sepupu satu kalinya, We Tenri Songke anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E yang kawin dengan sepupunya We Tenri Wewang DenraE anak saudara kandung La Tenri Sukki bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE, La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke’. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.
 
Anak La Tenrisukki yang lain adalah La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung Timpa. Inilah yang kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng Mampu. La Saliwu yang kawin dengan Massalassae’ ri Palakka bernama We Lempe, darinya lahirlah La Tenriruwa Matinroe ri Bantaeng. 

Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange Ida Tenri Wewang kawin dengan La Tenrigiling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E. Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru Ida Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenrigau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’e, lahirlah We Temmaroe’ yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa.

Istana Luwu
La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Angkatan laut Luwu Mula-mula mendarat dan membuat basis pertahanan di Cellu, sementara pasukan Bone berkedudukan di Biru-biru. Strategi militer Bone adalah memancing Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui Luwu sehingga saat perang pasukan Dewaraja mulanya menyangka tidak ada laki-laki. hingga bersemangat menghadapi perempuan - perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. 

Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone. Luwu kalah dan pajung kebesaran Luwu diserahkan kepada Raja Bone). Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan, ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh Dewatae’ untuk bernaung dibawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Sejak peristiwa itu, La Tenri Sukki digelari Arung MappajungE (raja yang memakai payung).  (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Arumpone La Tenri Sukki berkata, ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tana Bone dengan Tana Luwu”. Menjawab Datu Luwu, ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”. Maka disepakatilah Ulu Ada (Perjanjian) sebagai berikut :

1. Mali siparappeki, mareba sipatokkoki, dua ata seddi puang, Gaukna Luwu Gaukna Bone, manguruja manguru deceng. (Kita naikkan yang hanyut, kita tegakkan yang rebah. Dua rakyat satu raja, tindakan Luwu tindakan Bone sama – sama menanggung buruk baiknya. Maksudnya, kita bantu bagi yang membutuhkan bantuan, rakyat dan raja Luwu bersatu dengan rakyat dan raja Bone dalam menghadapi segala tantangan). 

2. Tessipamate matei, sisappareng akkenunggi, tessibawang pawengngi, tessitajeng alilungngi. (Tidak saling mematikan, saling menunjukkan hak milik, tidak saling menghina, dan tidak saling mencarikan kesalahan. Maksudnya, Bone dan Luwu jangan saling mencelakakan, tetapi mestinya saling menghormati dan menghargai hak milik masing – masing). 

3. Namauna siwennimua lettukna to Bone ro Luwu, Luwuni. Namauna siwennimua lettukna Luwue ri Bone, to Boneni. (Walaupun baru satu malam orang Bone di Luwu, maka mereka sudah menjadi orang Luwu, walaupun baru satu malam orang Luwu sampai di Bone, maka mereka sudah menjadi orang Bone. Maksudnya, orang Luwu ataupun orang Bone diperlakukan sama, dihargai, dan dihormati sama seperti kalau mereka berada di negeri sendiri, di Luwu ataupun di Bone). 

4. Tessiagelliang tessipikki, bicaranna Bone bicaranna Luwu, Adeqna Bone adekna Luwu, Adeqna Luwu adekna Bone.  (Tidak saling memarahi dalam kesulitan, masalahnya Luwu masalahnya Bone, adatnya Bone adatnya Luwu. Maksudnya, Luwu dan Bone bersama – sama bertekad menyelesaikan masalah mereka berdasarkan ketentuan hukum adat masing – masing). 

5. Tessiacinnaiyangngi ulaweng matasa, Pattola malampe’. (Tidak saling menginginkan emas murni dan calon pengganti yang panjang. Maksudnya, Bone dan Luwu tidak saling mencampuri masalah urusan dalam negeri masing – masing). 

6. Niginigi temmaringngerang ri ulu adae, iyya risering parowo ri Dewatae lettu ritorimunrinna. Iyya makkuwa ramunramunna, apu apunna ittello riaddampessangnge ri batue tanana. (Barangsiapa yang mengingkari perjanjian perdamaian ini, maka dialah akan disapu seperti sampah oleh Dewata sampai anak cucunya, dan negerinya akan hancur seperti telur yang dihempaskan di batu. Maksudnya, bila Luwu ataupun Bone mengingkari perjanjian perdamaian tersebut, maka akan mendapat kutukan dari Dewata). 


    Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja. 

    Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan. (Kasim, 2002). 

      Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, terjadi pula permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan. Arung Mampu berkata, ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”. Arumpone menjawab, ”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin negerinya dan kembalilah Arumpone ke Bone. 

    La Tenri Sukki menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone selama 20 tahun. Di saat akhir hidupnya ia mengumpulkan seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama La Uliyo”. Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/18/riwayat-raja-bone-5-la-tenri-sukki-357642.html#



Read More