Jumat, 13 Juli 2012

Sumpah “Bibir Pecah” Arung Palakka di Buton


Hingga akhir 1990-an, dalam permainan kanak-kanak di Buton, terdapat istilah “sumpah pogoso” atau sumpah bibir pecah yang digunakan untuk menguji kebohongan teman sepermainan. Ternyata, sumpah itu berasal dari hikayat pelarian Arung Palakka di Kesultanan Buton di abad ke-17. Kolera dan tipus mungkin sudah biasa kita dengar legenda dan kisah keganasannya bila sudah mewabah. Dalam cerita sejarah, pendiri kota Batavia, Jan Pieterzoon Coen, disebut-sebut mati pada September 1629 dikarenakan kolera. Sementara dalam cerita fiksi, wabah tipus dijadikan latar novel Frankenstein. Tapi pernahkah anda membayangkan kalau sariawan atau bibir pecah-pecah melanda di satu wilayah ? 
Arung Palakka dan William Wallace
Mendengarnya sepintas memang terasa lucu. Untungnya juga malapetaka itu tidak pernah terjadi. Tapi seandainya saja Arung Palakka ketika lari ke Buton tidak bersembunyi di dalam gua, maka, bisa jadi, seluruh wilayah Kesultanan Buton ketika itu dilanda pogoso atau bibir pecah-pecah. Siapa yang tahu!

Ini lantaran sumpah yang diucapkan Sultan Buton ketika serombongan pasukan pencari buronan dari Kerajaan Gowa datang menghadap ke La Awu Sultan Malik Surullah karena mendengar kabar kalau Raja Bugis itu lari dan mencari suaka di wilayah kesultanan yang dipimpinnya.

“Saya tidak bohong. Tapi kalau benar Arung Palakka ada di atas tanah Buton, saya bersumpah seluruh rakyat Buton akan terkena pogoso,” begitulah kira-kira rekaan sumpah yang diucapkan sultan yang memerintah Buton mulai 1654-1664 kepada rombongan pasukan itu.

Buton memang tidak termakan sumpah. Soalnya Arung Palakka yang bergelar Petta MelampeE Gemme’na (Pangeran yang Berambut Panjang) itu bersembunyi di sebuah gua yang terletak di dinding tebing timur Benteng Wolio. Bukannya di ‘atas’ tanah Buton!

Hingga kini, gua persembunyian Arung Palakka itu bisa terlihat jelas. Jalanan setapak di bibir tebing curam di sekitarnya sudah disemen untuk memudahkan orang mencapai dan melihat gua yang ada dalam perlindungan benteng seluas 22,8 hektar dan disebut-sebut sebagai benteng terluas di dunia itu.

Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama Latoondu. Bisa jadi ini adalah nama dari pelisanan yang dilakukan ‘lidah lokal’ dari dua kata “La” (awalan untuk nama laki-laki di masyarakat Buton) dan “Tounru” (Sang Penakluk—salah satu gelar Arung Palakka). Karenanya, gua persembunyian bangsawan Bone itu dinamai Liana Latoondu.

Leonard Y Andaya dalam bukunya Warisan Arung Palakka menyebut, menurut sumber Belanda (Speelman) dan catatan harian Raja-raja Gowa dan Tallo, peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 1660 dan awal 1661, tatkala Raja Bone-Soppeng itu melarikan diri ke Butung atau Buton, membawa keluarga, dan para pengikutnya.

Perlindungan yang diberikan Sultan Buton ternyata terus dikenang dan menjadi dendam tersendiri bagi Gowa. Pada 1666, Sultan Hasanuddin mengirim armada berkekuatan 20.000 personil untuk menghantam Buton karena alasan itu.

Pulau Makassar

 
Jejak lainnya yang berkaitan dengan cerita pelarian Arung Palakka juga terlihat jelas dari Benteng Wolio yang mengelilingi Keraton Kesultanan Buton. Bila kita melepas pandang ke Teluk Baubau, terdapat pulau kecil yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna. Nama pulau itu adalah Pulau Makassar, yang letaknya hanya sekitar 10 menit menggunakan perahu bermesin dari Baubau.

Ada beberapa versi untuk menjelaskan perihal penamaan ‘Makassar’ untuk pulau berbentuk lingkaran tersebut. Pertama, karena di sanalah tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.

Versi lainnya mengatakan, pulau seluas 104 kilometer persegi itu diberi nama serupa ibukota Sulawesi Selatan itu karena di sanalah para pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung Palakka. Apalagi jika mereka gagal, berarti hukuman menanti dari raja.

Sementara klaim lain menyebut, pulau itu dulunya bernama Liwuto; yang dalam bahasa Buton juga berarti pulau. Pulau nelayan itu dulunya adalah tempat menawan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan Kompeni-Arung Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton pada 1666.

Sumpah pogoso sendiri, setidaknya hingga tahun 1990-an, masih dipakai oleh kanak-kanak setempat bilamana mereka hendak menguji bohong atau tidaknya kawan sepermainannya. (p!)

http://www.panyingkul.com/view.php?id=263&jenis=tahukahkita
Read More

Menilai Pelajaran Sejarah dan Peristiwa Penting Arung Palakka


Mungkin tak banyak yang tahu kalau Pulau Buton (kadang disebut Butung), pernah menjadi tempat pelarian Arung Palakka dari kejaran pasukan Sultan Hasanudin. Pelajaran sejarah yang pernah singgah tatkala kecil dulu paling hanya menjabarkan kalau si pangeran berambut panjang ini hanyalah seorang pengkhianat.

Gua di Buton, tempat persembunyian Arung Palakka

Ia berlari mencari bantuan VOC dan melawan pahlawan Indonesia. Tapi apakah kita tahu bahwa ternyata buat sebagian orang—khususnya orang Bone dan Buton—Arung Palakka bukanlah sosok jahat, yang seperti didiskreditkan sekarang ini.

Alkisah, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya. Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkubuan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri)-nya tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.

Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, mereka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone tersebut.

Namun Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes memutuskan pergi saja untuk mencari orang yang dapat menolong mengembalikan siri mereka. Dan sebelum ia pergi ke Pulau Jawa, terlebih dahulu ia berlari ke Buton untuk mencari perlindungan Raja Buton X yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem.

Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka.
”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya. Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Lalu di mana letak kebenaran sejarah yang menyatakan bahwa benar lokasi yang sekarang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah disana, merupakan tempat Arung Palakka bersembunyi?

Ceruk
Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, sangat menggambarkan kebenaran sejarah tersebut.Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar. Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk tersebut. Yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan goa, yang berada di dalam tanah. Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya menyelamatkan Arung Palakka dari pengejaran pasukan Gowa.

Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Ia menjelaskan bahwa antara kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara. ”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya memberitahu isi ikatan tersebut pada saya, akhir bulan lalu.Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan menolong Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.

Ceruk bersejarah tersebut kini berada di sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Bau-Bau. Tak sulit mencarinya karena berada tak jauh dari benteng Wolio, yang terletak di daerah paling tinggi di Pulau Buton.Menuju ke ceruk tersebut juga tidak sulit. Hanya daerahnya yang agak terjal membuat kita harus agak berhati-hati melewatinya.Saat saya akhirnya tiba di goa tersebut. Hilang semua pemikiran saya mengenai gambar sebuah goa pada umumnya di Jawa. Tempat persembunyian Arung Palakka tersebut lebih pantas bila dikatakan ceruk dengan air yang terus menetes-netes dari atapnya.

Kemudian ada sedikit daerah yang kini diberi plesteran semen, yang disinyalir sebagai tempat Arung Palakka duduk bersembunyi. Tak bisa kita berdiri tegak di sini, agak bungkuk untuk menghindari bagian tajam yang menghiasi atas ceruk. Namun dapat dipastikan, banyaknya air yang terus menetes dari atas ceruk yang bisa membuat Aru Palakka bisa bertahan lama di sana.

Rumah Adat
Hal keberadaan singgahnya Aru Palakka kemudian dikuatkan juga oleh pernyataan ahli waris kesultanan Buton. Keluarga istana yang rumah tinggalnya kini dijadikan rumah adat. Yang bisa didatangi siapa saja untuk menjelaskan keberadaan rakyat Buton, juga tidak menyangkal hal tersebut. Di rumah adat berkamar enam dan berlantai dua itu, juga terpampang foto dan patung Arung Palakka. Ini menandakan memang benar keberpihakan kesultanan Buton pada Arung Palakka. Bahkan mereka tidak merasa itu sebuah kesalahan, karena memang perjanjian adat yang ada sudah mengikat mereka dengan Bone.

Terlepas dari benar tidaknya sejarah tersebut. Satu yang harus dicatat, adalah mengenai tingginya perhatian masyarakat Buton terhadap masa lalunya. Bahkan dengan Arung Palakka yang relatif orang luar Buton (dan dianggap pengkhianat pada masa Orde Baru), mereka tetap mengenang keberadaannya di sana.Lalu timbul pertanyaan, masih tersisakah rasa penghormatan itu pada diri manusia Indonesia pada umumnya kini? Pahlawan sendiri kadang kita lupakan juga.
Read More

Rabu, 04 Juli 2012

Arung Palakka, Sang Jagoan Batavia

Radja Palacca
Jauh sebelum menaklukan Sultan Hasanuddin di Selat Buton, Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.

Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.

Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.

Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.

Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.

Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.

Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.

Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.

Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.


Read More

Ritual Bissu Sakti di Bone


Ada sebuah ritual di kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang terbilang unik karena harus diperankan oleh seseorang yang lebih dikenal dengan sebutan bissu. Hal ini karena bissu pada zaman dahulu merupakan penasehat kerajaan.

Ritual para bissu ini beragam mulai dari maggiri atau adu kebal senjata tajam, sulo wara atau bakar diri, serta sere wara atau bejalan di atas bara api.

Dalam menggelar ritual ini para bissu umumnya dipandu oleh seorang petinggi bissu atau dikenal dengan Puang Matoa dan Puang Lolo. Jika Puang Matoa tidak ada maka digantikan dengan Puang Lolo.

Ritual para bissu ini memang dikenal cukup ekstrim sebab melakukan hal hal yang sangat berlawanan dengan nalar.

Seperti pada maggiri, para bissu mencabut keris kemudian menikam sejumlah titik bagian tubuhnya tanpa terluka. Belum lagi membakar diri dan berjalan di atas bara api tanpa terbakar.Sejatinya ritual para bissu ini merupakan kesatuan antara manusia dengan besi dan api.

"Ritual ini sebenarnya pernyataan sikap bahwa sebenarnya antara manusia itu dengan besi satu, demikian hal antara manusia dengan api sebenarnya itu menyatu semua buktinya mereka tidak terluka dan terbakar," ujar Andi Bone, salah seorang budayawan.
Sementara itu, para bissu ketika melakukan ritual seakan tak sadarkan diri dan selalu menganggap dirinya bebas."Kita seperti melayang layang dan ujung keris itu tidak ada apa-apanya dan api itu kita rasa dingin," ujar Enggel yang juga bergelar Puang Lolo.


kaskus-forum.blogspot.com - Ritual Bissu,Waria-waria Sakti di Bone

kaskus-forum.blogspot.com - Ritual Bissu,Waria-waria Sakti di Bone

kaskus-forum.blogspot.com - Ritual Bissu,Waria-waria Sakti di Bone

  http://regional.kompas.com/read/2012/04/08/09380684/Ritual.Bissu.Wariawaria.Sakti.di.Bone
Read More