Senin, 03 Desember 2012

Raja Bone V (La Tenri Sukki 1516 – 1543)

Dalam  Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa Raja Bone V, La Tenrisukki adalah pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. Arumpone ini kawin dengan sepupu satu kalinya, We Tenri Songke anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E yang kawin dengan sepupunya We Tenri Wewang DenraE anak saudara kandung La Tenri Sukki bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE, La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke’. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.
 
Anak La Tenrisukki yang lain adalah La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung Timpa. Inilah yang kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng Mampu. La Saliwu yang kawin dengan Massalassae’ ri Palakka bernama We Lempe, darinya lahirlah La Tenriruwa Matinroe ri Bantaeng. 

Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange Ida Tenri Wewang kawin dengan La Tenrigiling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E. Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru Ida Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenrigau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’e, lahirlah We Temmaroe’ yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa.

Istana Luwu
La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Angkatan laut Luwu Mula-mula mendarat dan membuat basis pertahanan di Cellu, sementara pasukan Bone berkedudukan di Biru-biru. Strategi militer Bone adalah memancing Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui Luwu sehingga saat perang pasukan Dewaraja mulanya menyangka tidak ada laki-laki. hingga bersemangat menghadapi perempuan - perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. 

Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone. Luwu kalah dan pajung kebesaran Luwu diserahkan kepada Raja Bone). Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan, ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh Dewatae’ untuk bernaung dibawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Sejak peristiwa itu, La Tenri Sukki digelari Arung MappajungE (raja yang memakai payung).  (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Arumpone La Tenri Sukki berkata, ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tana Bone dengan Tana Luwu”. Menjawab Datu Luwu, ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”. Maka disepakatilah Ulu Ada (Perjanjian) sebagai berikut :

1. Mali siparappeki, mareba sipatokkoki, dua ata seddi puang, Gaukna Luwu Gaukna Bone, manguruja manguru deceng. (Kita naikkan yang hanyut, kita tegakkan yang rebah. Dua rakyat satu raja, tindakan Luwu tindakan Bone sama – sama menanggung buruk baiknya. Maksudnya, kita bantu bagi yang membutuhkan bantuan, rakyat dan raja Luwu bersatu dengan rakyat dan raja Bone dalam menghadapi segala tantangan). 

2. Tessipamate matei, sisappareng akkenunggi, tessibawang pawengngi, tessitajeng alilungngi. (Tidak saling mematikan, saling menunjukkan hak milik, tidak saling menghina, dan tidak saling mencarikan kesalahan. Maksudnya, Bone dan Luwu jangan saling mencelakakan, tetapi mestinya saling menghormati dan menghargai hak milik masing – masing). 

3. Namauna siwennimua lettukna to Bone ro Luwu, Luwuni. Namauna siwennimua lettukna Luwue ri Bone, to Boneni. (Walaupun baru satu malam orang Bone di Luwu, maka mereka sudah menjadi orang Luwu, walaupun baru satu malam orang Luwu sampai di Bone, maka mereka sudah menjadi orang Bone. Maksudnya, orang Luwu ataupun orang Bone diperlakukan sama, dihargai, dan dihormati sama seperti kalau mereka berada di negeri sendiri, di Luwu ataupun di Bone). 

4. Tessiagelliang tessipikki, bicaranna Bone bicaranna Luwu, Adeqna Bone adekna Luwu, Adeqna Luwu adekna Bone.  (Tidak saling memarahi dalam kesulitan, masalahnya Luwu masalahnya Bone, adatnya Bone adatnya Luwu. Maksudnya, Luwu dan Bone bersama – sama bertekad menyelesaikan masalah mereka berdasarkan ketentuan hukum adat masing – masing). 

5. Tessiacinnaiyangngi ulaweng matasa, Pattola malampe’. (Tidak saling menginginkan emas murni dan calon pengganti yang panjang. Maksudnya, Bone dan Luwu tidak saling mencampuri masalah urusan dalam negeri masing – masing). 

6. Niginigi temmaringngerang ri ulu adae, iyya risering parowo ri Dewatae lettu ritorimunrinna. Iyya makkuwa ramunramunna, apu apunna ittello riaddampessangnge ri batue tanana. (Barangsiapa yang mengingkari perjanjian perdamaian ini, maka dialah akan disapu seperti sampah oleh Dewata sampai anak cucunya, dan negerinya akan hancur seperti telur yang dihempaskan di batu. Maksudnya, bila Luwu ataupun Bone mengingkari perjanjian perdamaian tersebut, maka akan mendapat kutukan dari Dewata). 


    Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja. 

    Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan. (Kasim, 2002). 

      Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, terjadi pula permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan. Arung Mampu berkata, ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”. Arumpone menjawab, ”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin negerinya dan kembalilah Arumpone ke Bone. 

    La Tenri Sukki menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone selama 20 tahun. Di saat akhir hidupnya ia mengumpulkan seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama La Uliyo”. Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/18/riwayat-raja-bone-5-la-tenri-sukki-357642.html#