Selanjutnya
La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil).
Berikutnya We Tenri Sumange Ida Tenri Wewang kawin dengan La Tenrigiling
Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan
isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian
kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E. Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru Ida Tenri Palesse. Kemudian
We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah
We Tenrigau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’e, lahirlah We
Temmaroe’ yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga,
turunan ManurungE ri Batulappa.
|
Istana Luwu |
La
Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan
memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan.
Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di
masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan
militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Angkatan laut Luwu Mula-mula
mendarat dan membuat basis pertahanan di Cellu, sementara pasukan Bone
berkedudukan di Biru-biru. Strategi militer Bone adalah memancing Luwu
dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui Luwu
sehingga saat perang pasukan Dewaraja mulanya menyangka tidak ada
laki-laki. hingga bersemangat menghadapi perempuan -
perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah
yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke
perahunya.
Setelah perang selesai (Perang
itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh
di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone. Luwu kalah dan pajung kebesaran Luwu diserahkan kepada Raja Bone). Arumpone
dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna
merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan, ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh Dewatae’ untuk bernaung dibawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Sejak peristiwa itu, La Tenri Sukki digelari Arung MappajungE (raja yang memakai payung). (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Paska
Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To
Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata
di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Arumpone La Tenri Sukki
berkata, ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tana Bone dengan Tana Luwu”. Menjawab Datu Luwu, ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”. Maka disepakatilah Ulu Ada (Perjanjian) sebagai berikut :
1. Mali siparappeki, mareba sipatokkoki, dua ata seddi puang, Gaukna Luwu Gaukna Bone, manguruja manguru deceng. (Kita
naikkan yang hanyut, kita tegakkan yang rebah. Dua rakyat satu raja,
tindakan Luwu tindakan Bone sama – sama menanggung buruk baiknya.
Maksudnya, kita bantu bagi yang membutuhkan bantuan, rakyat dan raja
Luwu bersatu dengan rakyat dan raja Bone dalam menghadapi segala
tantangan).
2. Tessipamate matei, sisappareng akkenunggi, tessibawang pawengngi, tessitajeng alilungngi.
(Tidak saling mematikan, saling menunjukkan hak milik, tidak saling
menghina, dan tidak saling mencarikan kesalahan. Maksudnya, Bone dan
Luwu jangan saling mencelakakan, tetapi mestinya saling menghormati dan
menghargai hak milik masing – masing).
3. Namauna siwennimua lettukna to Bone ro Luwu, Luwuni. Namauna siwennimua lettukna Luwue ri Bone, to Boneni.
(Walaupun baru satu malam orang Bone di Luwu, maka mereka sudah menjadi
orang Luwu, walaupun baru satu malam orang Luwu sampai di Bone, maka
mereka sudah menjadi orang Bone. Maksudnya, orang Luwu ataupun orang
Bone diperlakukan sama, dihargai, dan dihormati sama seperti kalau
mereka berada di negeri sendiri, di Luwu ataupun di Bone).
4. Tessiagelliang tessipikki, bicaranna Bone bicaranna Luwu, Adeqna Bone adekna Luwu, Adeqna Luwu adekna Bone.
(Tidak saling memarahi dalam kesulitan, masalahnya Luwu masalahnya
Bone, adatnya Bone adatnya Luwu. Maksudnya, Luwu dan Bone bersama – sama
bertekad menyelesaikan masalah mereka berdasarkan ketentuan hukum adat
masing – masing).
5. Tessiacinnaiyangngi ulaweng matasa, Pattola malampe’. (Tidak
saling menginginkan emas murni dan calon pengganti yang panjang.
Maksudnya, Bone dan Luwu tidak saling mencampuri masalah urusan dalam
negeri masing – masing).
6. Niginigi
temmaringngerang ri ulu adae, iyya risering parowo ri Dewatae lettu
ritorimunrinna. Iyya makkuwa ramunramunna, apu apunna ittello
riaddampessangnge ri batue tanana. (Barangsiapa
yang mengingkari perjanjian perdamaian ini, maka dialah akan disapu
seperti sampah oleh Dewata sampai anak cucunya, dan negerinya akan
hancur seperti telur yang dihempaskan di batu. Maksudnya, bila Luwu
ataupun Bone mengingkari perjanjian perdamaian tersebut, maka akan
mendapat kutukan dari Dewata).
Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi
ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke
negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak
mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari
pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang).
Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman
perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi
kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah
perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan
substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada
hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone
dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya
terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi
Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan
peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise
yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone
bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
(Kasim, 2002).
Dimasa
pemerintahan La Tenri Sukki, terjadi pula permusuhan antara orang Bone
dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung,
diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu La Pariwusi kalah dan
menyerahkan persembahan. Arung Mampu berkata, ”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”. Arumpone menjawab, ”Saya
akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai
Palili Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir
jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin negerinya dan kembalilah Arumpone ke Bone.
La Tenri Sukki menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone
selama 20 tahun. Di saat akhir hidupnya ia mengumpulkan seluruh orang
Bone dan menyampaikan, ”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya
wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama La Uliyo”.
Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/18/riwayat-raja-bone-5-la-tenri-sukki-357642.html#