Rabu, 27 Maret 2013

Raja Bone VIII (La Inca)

Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung.

Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.

Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.

Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.

Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya ; ”Ada apa gerangan di Bone?” Dengan ketakutan orang Bone berkata ; ”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.

Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.

I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.

Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri. “Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”. Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka.

Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.

Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).

Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.

We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.

Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.
Read More

Senin, 07 Januari 2013

Raja Bone VII (La Tenri Rawe Bongkangnge’ 1568-1584)

La Tenri Rawe BongkangE naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke. Dari isterinya Arung Timurung melahirkan La Maggalatung yang dipersiapkan sebagai ana’ pattola, namun meninggal dunia semasa kecil. Anak kedua La Tenri Sompa dipersiapkan menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh seorang bernama Dangkali. 

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai rakyatnya karena memiliki Sifat - sifat terpuji : berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa. Arumpone La Tenri Rawe-lah yang pertama kali membagi dan menata struktur pemerintahan lebih baik (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanua (daerah). 

Dimasa kekuasaannya, Gowa mengingkari Ulu Ada’ (perjanjian) pendahulunya dan melakukan serangan militer sebanyak empat kali. Serangan militer pertama dalam tahun 1562 merupakan buntut pertemuan kenegaraan antara Raja Bone dan Gowa yang dimeriahkan dengan sabung ayam. Taruhan Raja Gowa sebesar 100 kati emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Ayam sabungan Gowa berwarna merah, ayam sabungan Gowa mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone”. Peristiwa sabung ayam kedua raja yang sedang menanjak pengaruhnya di semenanjung barat dan timur ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan sabung ayam yang mempertandingkan kesaktian dan kharisma Raja Bone dengan Raja Gowa. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Ilustrasi
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian charisma Raja Gowa oleh Raja Bone sehingga Tragedi ini dipandang sebagai Siri’. Sabung ayam itu sendiri menempatkan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil disekitarnya yang dengan sukarela menggabungkan diri sebagai palili (bawahan) Bone. Negeri Ajangale’, Awo, Teko dan Attassalo menyatakan diri bergabung. Tellu Limpue juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan didudukkanlah sebagai palili Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa (Raja Gowa) bertambah marah sepulang ke Gowa langsung mempersiapkan serangan militer ke Bone. (Makkulau, 2009). 

Pengintegrasian Tellu Limpoe dengan Bone, dijadikan dalih Gowa melancarkan serangan militer melalui jalan darat via Camba dengan jalan kaki atau naik kuda. Serangan Gowa selanjutnya selalu naik perahu via Teluk Bone. Perang tersebut diakhiri dengan gencatan senjata. Paska Perang itu, Datu Soppeng Rilau La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE yang diturunkan dari takhtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Di Bone, ia kawin dengan saudara Arumpone We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo. Saudara Arumpone We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng yang kawin dengan sepupu satu kalinya bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek Arung Palakka MatinroE ri Bontoala.  (Lontaraq Akkarungeng ri Bone dalam Makkulau, 2009).  

Ambisi Gowa untuk menaklukkan Bone tak pupus. Tak lama setelah itu Gowa kembali melancarkan serangan militer kedua dan terjadilah perang di Cellu selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Perang ini terjadi dalam tahun 1563. Dua tahun kemudian Gowa menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung tujuh hari tujuh malam, pasukan Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, namun dalam serangan militer ketiga (1565) ini Raja Gowa tiba-tiba terserang penyakit yang membuatnya harus kembali ke Gowa. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia. 


Serangan Gowa yang bertubi – tubi itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bone untuk melakukan serangan balasan terhadap Gowa. Namun sejauh itu Bone tetap bersikap defensif. Pengganti Raja Gowa Daeng Bonto, I Tajibarani Daeng Manrumpa Karaeng Data Tunibatta (1565), lebih berambisi lagi untuk menaklukkan Bone. Dengan kekuatan angkatan perang yang lebih besar daripada serangan (ke-1, ke-2, dan ke – 3), I Tajibarani menyerang Bone. Hanya kurang dua bulan kemudian, serangan militer kembali digencarkan. Mendengar Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone, Begitu pula orang Limampanua Rilau Ale’ yang berkedudukan di Cinennung dan orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. (Kasim, 2002).

Serangan militer keempat Gowa dalam tahun 1565 tersebut dilukiskan BF Matthes dalam, ”Boegineesche Chrestomathie” sebagaimana dikutip dalam Sejarah Bone (Abdur Razak Dg Patunru, tt) sebagai berikut, ”Begitu hebat serangan laskar Gowa kali ini, sehingga beberapa daerah bawahan Kerajaan Bone dapat didudukinya antara lain Ajangale dan Awangpone. Gowa membangun bentengnya di Pappolo. Serangan laskar Gowa kali ini luar biasa, bertambah luas Daerah Bone dikuasai dalam waktu singkat, sampai – sampai dapat menerobos masuk ke Bukaka dan Takke Aju’. Pada hari yang terakhir matahari agak condong ke barat, saat laskar Gowa menghalau ternak dan harta rampasannya, dapat dicegat lasykar Bone yang jumlahnya cukup besar. Banyak lasykar Gowa yang gugur pada waktu itu. Akhirnya Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Manrumpa Karaeng Data, terpancung oleh laskar Bone, yang menyebabkan Raja Gowa tewas di medan laga. Prajurit Bone yang berhasil memancung Raja Gowa ini bernama La Tunru”. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009). 

Dengan gugurnya I Tajibarani, Raja dan panglima pasukan Kerajaan Gowa, maka lasykar Gowa menyerah tanpa syarat. Maka diadakanlah perjanjian perdamaian di Caleppa (lokasi Caleppa 4 km di sebelah utara Watampone) di akhir Tahun 1565 yang dikenal dengan nama ”Ulu adae ri Caleppa”, dihadiri oleh delegasi Bone, KajaoLaliddong dan Raja Bone La Tenrirawe Bongkange, serta delegasi Gowa, Mangkubumi Gowa (Raja Tallo) I Mappataka Tana Daeng Padulung. Dalam perjanjian itu ditetapkan : (1) Bone meminta kemenangan – kemenangan, yaitu kepadanya harus diserahkan daerah – daerah sampai ke Sungai Walanae di sebelah barat dan sampai di daerah Uloe di sebelah utara. (2) Sungai Tangka akan menjadi perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah kekuasaan Gowa disebelah selatan. (3) Supaya negeri Cenrana masuk daerah kekuasaan Bone, karena Cenrana dahulu memang sudah ditaklukkan oleh Bone yang bernama ‘La Tenrisukki Mappajunge’, yaitu sebagai kemenangan dalam peperangan melawan Raja Luwu yang bernama Dewaraja. 

Kemenangan militer Bone atas Gowa memaksa Gowa untuk mengakui batas – batas wilayah Kerajaan Bone. Pengganti Raja Gowa, I Tajibarani ialah putera mahkota, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1566 – 1591), menerapkan pendekatan diplomatik dan sikap lunak terhadap Bone. Bone dan Gowa mengaktualisasikan kembali Perjanjian Tamalate tahun 1540. Dual entente antara Gowa dengan Bone yang kedua ini (1566) menetapkan : (1) Musuh salah satu diantara mereka adalah musuh bersama, (2) Orang Gowa yang ke Bone atau orang Bone ke Gowa, adalah seperti mereka datang ke negerinya sendiri. Raja Gowa, Karaeng Bontolangkasa mengubah politik luar negerinya terhadap Bone dari pendekatan militer menjadi pendekatan diplomatik, dari sikap bermusuhan menjadi sikap bersahabat, menciptakan kondisi hidup berdampingan secara damai. 

Pada saat itu terjadi pula Serangan militer Luwu ke Bone, mungkin didasarkan pada prakiraan bahwa Bone masih dalam keadaan lemah akibat perang yang berkepanjangan dengan Gowa. Kemarahan Bone terhadap Luwu karena Datu Luwu Sanggariya karena Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanua Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh Bone. Untuk memperkuat kedudukan Bone, Arumpone La Tenri Rawe menjalin kerjasama dengan Arung Matowa Wajo To Uddamang dan Datu Soppeng PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk jalinan kerjasama regional antara Bone, Soppeng dan Wajo. Di Cenrana, ketiga raja bersepakat pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai waktu yang ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, Soppeng dan Wajo di Bunne. Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso’ (Soppeng). 

Dalam pertemuan itu Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin kita hubungkan tanah kita bertiga, sedang Wajo adalah kekuasaan Gowa dan Bone juga punya hubungan dengan Gowa”. Arumpone menjawab, ”Yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan Arung Matowa Wajo. Berkata PollipuE ri Soppeng, ”Bagus Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab bersaudara itu berarti sejajar”. Arumpone menjawab, ”Bagaimana Arung Matowa, sebab apa yang dikatakan PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab, ”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi Arumpone, ”Saya setuju, tidak apalah saya berikan tanah kepada Soppeng untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo, ”Bagus Arumpone, saya juga berikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata, ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”. Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo, ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE’, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”. Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong, ”Janganlah dulu menanam batu itu, Kajao ! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”. 

Dengan pendekatan diplomatik, La Tenrirawe Bongkange’ berhasil menggabungkan kekuatan Bone, Soppeng dan Wajo di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572. Dalam bahasa Bugis disebut “Mattellumpoccoe ri Timurung”. Substansi kesepakatan menunjukkan bahwa ketiga kerajaan secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka sekaligus mengamankan daerah lumbung padi (Bone, Soppeng dan Wajo). Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu (Kasim, 2002). Di akhir hayatnya, La Tenri Rawe BongkangE digelari MatinroE ri Gucinna karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci.
Read More