La Tenri Rawe BongkangE naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI. La
Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak
dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke. Dari isterinya Arung
Timurung melahirkan La Maggalatung yang dipersiapkan sebagai ana’
pattola, namun meninggal dunia semasa kecil. Anak kedua La Tenri Sompa
dipersiapkan menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena
dibunuh oleh seorang bernama Dangkali.
Ketika
menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai rakyatnya
karena memiliki Sifat - sifat terpuji : berbudi pekerti yang baik,
jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara
keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari
orang biasa. Arumpone La Tenri Rawe-lah yang pertama kali membagi dan
menata struktur pemerintahan lebih baik (makkajennangeng) seperti: yang
bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan
dan yang mengurus wanua (daerah).
Dimasa kekuasaannya, Gowa mengingkari Ulu Ada’ (perjanjian) pendahulunya dan melakukan serangan militer sebanyak empat kali. Serangan
militer pertama dalam tahun 1562 merupakan buntut pertemuan kenegaraan
antara Raja Bone dan Gowa yang dimeriahkan dengan sabung ayam. Taruhan
Raja Gowa sebesar 100 kati emas, sedang Raja Bone sendiri
mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Ayam sabungan Gowa
berwarna merah, ayam sabungan Gowa mati terbunuh oleh ayam sabungan
Bone”. Peristiwa sabung ayam kedua raja yang sedang menanjak pengaruhnya
di semenanjung barat dan timur ini bukanlah sabung ayam biasa,
melainkan sabung ayam yang mempertandingkan kesaktian dan kharisma Raja
Bone dengan Raja Gowa. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Ilustrasi |
Kematian
ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian charisma
Raja Gowa oleh Raja Bone sehingga Tragedi ini dipandang sebagai Siri’.
Sabung ayam itu sendiri menempatkan Bone dalam posisi psikologis yang
kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil disekitarnya yang dengan
sukarela menggabungkan diri sebagai palili (bawahan) Bone. Negeri
Ajangale’, Awo, Teko dan Attassalo menyatakan diri bergabung. Tellu Limpue juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan didudukkanlah sebagai palili Bone. Hal
ini membuat KaraengE ri Gowa (Raja Gowa) bertambah marah sepulang ke
Gowa langsung mempersiapkan serangan militer ke Bone. (Makkulau, 2009).
Pengintegrasian
Tellu Limpoe dengan Bone, dijadikan dalih Gowa melancarkan serangan
militer melalui jalan darat via Camba dengan jalan kaki atau naik kuda.
Serangan Gowa selanjutnya selalu naik perahu via Teluk Bone. Perang
tersebut diakhiri dengan gencatan senjata. Paska Perang
itu, Datu Soppeng Rilau La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE yang
diturunkan dari takhtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Di
Bone, ia kawin dengan saudara Arumpone We Tenri Pakkuwa. Dari
perkawinannya itu lahirlah We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo. Saudara
Arumpone We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya La Saliwu Arung
Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan La Tenri Ruwa MatinroE ri
Bantaeng yang kawin dengan sepupu satu kalinya bernama We Dangke. La
Tenri Ruwa adalah nenek Arung Palakka MatinroE ri Bontoala. (Lontaraq
Akkarungeng ri Bone dalam Makkulau, 2009).
Ambisi
Gowa untuk menaklukkan Bone tak pupus. Tak lama setelah itu Gowa
kembali melancarkan serangan militer kedua dan terjadilah perang di
Cellu selama
lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Perang ini terjadi dalam
tahun 1563. Dua tahun kemudian Gowa menyerang lagi. Kali ini perang
berlangsung tujuh hari tujuh malam, pasukan Gowa mengambil tempat
pertahanan di Walenna, namun dalam serangan militer ketiga (1565) ini
Raja Gowa tiba-tiba terserang penyakit yang membuatnya harus kembali ke
Gowa. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.
Serangan
Gowa yang bertubi – tubi itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bone untuk
melakukan serangan balasan terhadap Gowa. Namun sejauh itu Bone tetap
bersikap defensif. Pengganti Raja Gowa Daeng Bonto, I Tajibarani Daeng
Manrumpa Karaeng Data Tunibatta (1565), lebih berambisi lagi untuk
menaklukkan Bone. Dengan kekuatan angkatan perang yang lebih besar
daripada serangan (ke-1, ke-2, dan ke – 3), I Tajibarani menyerang Bone. Hanya
kurang dua bulan kemudian, serangan militer kembali digencarkan.
Mendengar Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung
datang membantu Bone, Begitu pula orang Limampanua Rilau Ale’ yang
berkedudukan di Cinennung dan orang Awampone berkedudukan di Pappolo
berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang
yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar
Kampung Bukaka dan Takke Ujung. (Kasim, 2002).
Serangan
militer keempat Gowa dalam tahun 1565 tersebut dilukiskan BF Matthes
dalam, ”Boegineesche Chrestomathie” sebagaimana dikutip dalam Sejarah
Bone (Abdur Razak Dg Patunru, tt) sebagai berikut, ”Begitu
hebat serangan laskar Gowa kali ini, sehingga beberapa daerah bawahan
Kerajaan Bone dapat didudukinya antara lain Ajangale dan Awangpone. Gowa
membangun bentengnya di Pappolo. Serangan laskar Gowa kali ini luar
biasa, bertambah luas Daerah Bone dikuasai dalam waktu singkat, sampai –
sampai dapat menerobos masuk ke Bukaka dan Takke Aju’. Pada hari yang
terakhir matahari agak condong ke barat, saat laskar Gowa menghalau
ternak dan harta rampasannya, dapat dicegat lasykar Bone yang jumlahnya
cukup besar. Banyak lasykar Gowa yang gugur pada waktu itu. Akhirnya
Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Manrumpa Karaeng Data, terpancung oleh
laskar Bone, yang menyebabkan Raja Gowa tewas di medan laga. Prajurit
Bone yang berhasil memancung Raja Gowa ini bernama La Tunru”. (Kasim,
2002 dalam Makkulau, 2009).
Dengan
gugurnya I Tajibarani, Raja dan panglima pasukan Kerajaan Gowa, maka
lasykar Gowa menyerah tanpa syarat. Maka diadakanlah perjanjian
perdamaian di Caleppa (lokasi Caleppa 4 km di sebelah utara Watampone)
di akhir Tahun 1565 yang dikenal dengan nama ”Ulu adae ri Caleppa”,
dihadiri oleh delegasi Bone, KajaoLaliddong dan Raja Bone La Tenrirawe
Bongkange, serta delegasi Gowa, Mangkubumi Gowa (Raja Tallo) I Mappataka
Tana Daeng Padulung. Dalam perjanjian itu ditetapkan : (1) Bone meminta
kemenangan – kemenangan, yaitu kepadanya harus diserahkan daerah –
daerah sampai ke Sungai Walanae di sebelah barat dan sampai di daerah
Uloe di sebelah utara. (2) Sungai Tangka akan menjadi
perbatasan daerah kekuasaan Bone dan daerah kekuasaan Gowa disebelah
selatan. (3) Supaya negeri Cenrana masuk daerah kekuasaan Bone, karena
Cenrana dahulu memang sudah ditaklukkan oleh Bone yang bernama ‘La
Tenrisukki Mappajunge’, yaitu sebagai kemenangan dalam peperangan
melawan Raja Luwu yang bernama Dewaraja.
Kemenangan militer Bone atas Gowa memaksa Gowa untuk
mengakui batas – batas wilayah Kerajaan Bone. Pengganti Raja Gowa, I
Tajibarani ialah putera mahkota, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo (1566 – 1591), menerapkan pendekatan diplomatik
dan sikap lunak terhadap Bone. Bone dan Gowa mengaktualisasikan kembali
Perjanjian Tamalate tahun 1540. Dual entente antara Gowa dengan Bone
yang kedua ini (1566) menetapkan : (1) Musuh salah satu diantara mereka
adalah musuh bersama, (2) Orang Gowa yang ke Bone atau orang Bone ke
Gowa, adalah seperti mereka datang ke negerinya sendiri. Raja Gowa,
Karaeng Bontolangkasa mengubah politik luar negerinya terhadap Bone dari
pendekatan militer menjadi pendekatan diplomatik, dari sikap bermusuhan
menjadi sikap bersahabat, menciptakan kondisi hidup berdampingan secara
damai.
Pada
saat itu terjadi pula Serangan militer Luwu ke Bone, mungkin didasarkan
pada prakiraan bahwa Bone masih dalam keadaan lemah akibat perang yang
berkepanjangan dengan Gowa. Kemarahan Bone terhadap Luwu karena Datu
Luwu Sanggariya karena Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanua Cenrana
telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh Bone.
Untuk memperkuat kedudukan Bone, Arumpone La Tenri Rawe menjalin
kerjasama dengan Arung Matowa Wajo To Uddamang dan Datu Soppeng
PollipuE. Maka
diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk jalinan kerjasama regional
antara Bone, Soppeng dan Wajo. Di Cenrana, ketiga raja bersepakat
pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai waktu yang ditentukan,
maka berkumpullah orang Bone, Soppeng dan Wajo di Bunne. Inilah catatan
yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung
dalam perjanjian La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan
La Mata Esso’ (Soppeng).
Dalam
pertemuan itu Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana
mungkin kita hubungkan tanah kita bertiga, sedang Wajo adalah kekuasaan
Gowa dan Bone juga punya hubungan dengan Gowa”. Arumpone
menjawab, ”Yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo.
Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau
menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan Arumpone
tersebut diiyakan Arung Matowa Wajo. Berkata PollipuE ri Soppeng, ”Bagus
Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah
Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab bersaudara itu berarti
sejajar”. Arumpone menjawab, ”Bagaimana Arung Matowa, sebab apa yang
dikatakan PollipuE adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab, ”Saya kira
tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya sipoana’
(ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda). Berkata lagi
Arumpone, ”Saya setuju, tidak apalah saya berikan tanah kepada Soppeng
untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.
Berkata pula Arung Matowa Wajo, ”Bagus Arumpone, saya juga berikan Soppeng penambah daki yaitu
Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau TongengE
berkata, ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga
telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak
dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”. Berkata
Arumpone dan Arung Matowa Wajo, ”Kita bertiga telah sepakat, maka
baiklah kita meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE’, siapa
yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”. Berkatalah
Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong, ”Janganlah dulu menanam
batu itu, Kajao ! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa
persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling
berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari
perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang
bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.
Dengan
pendekatan diplomatik, La Tenrirawe Bongkange’ berhasil menggabungkan
kekuatan Bone, Soppeng dan Wajo di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara
pada tahun 1572. Dalam bahasa Bugis disebut “Mattellumpoccoe ri
Timurung”. Substansi
kesepakatan menunjukkan bahwa ketiga kerajaan secara sadar membentuk
pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka sekaligus
mengamankan daerah lumbung padi (Bone, Soppeng dan Wajo). Dengan
demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan
Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu (Kasim, 2002). Di
akhir hayatnya, La Tenri Rawe BongkangE digelari MatinroE ri Gucinna
karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke
dalam guci.