Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone,
La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan
ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone.Beliau digelari
Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang
mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau
bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya
dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung
(maksudnya : payung kerajaan) di Bone. (Makkulau, 2009).
Makam raja-raja Bone yang terletak di Bukaka |
La
Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai rakyatnya karena selain
merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan seperti berdaya ingat tajam,
penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana. Dalam upayanya memperluas
wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah
sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan
Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil
menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang,
Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002).
Dengan diplomasi politik yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II (1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur, tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”.
(Kasim, 2002). Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa
permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya
nantinya menggabungkan diri dengan Bone.
Sasaran
upaya perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu
ditujukan ke arah pantai Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang
terletak di pantai barat Teluk Bone). Cellu pada masa itu
menguasai Bandar yang sekarang menjadi Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas
daerah pantai ini, sangat strategis artinya, dilihat dari segi politik
dan sosial ekonomi. Karena suatu Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim, 2002).
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia
hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari
isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan).
Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan
melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah
saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada
anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan, ”Kalau
Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya
kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya dan ditanam tembuninya”. Tidak berapa lama lahirlah anak laki - laki sehat
dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga
dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka La
Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu menyakitkan
hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut
barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian
dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone
La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan
membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat
lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’
dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk
mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La
Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya
sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan
perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang
dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’ (menyatakan ikrar setia).
Dilantiklah
La Saliyu Karampelua kecil oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone.
Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah
itu dinaikkanlah La Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya
menjadi Arumpone. Gelar Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau, 2009) (***)