Dalam lontara’ tersebut diketahui
bahwa setelah habisnya turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri
diwarnai dengan kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja)
sebagai pemimpin yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah
perang kelompok-kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan (Bugis = Sianre
bale).
Kelompok-kelompok masyarakat saling
bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok yang
lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam
Bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi
adat istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah.
Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling
memangsa satu sama lain.
Menurut catatan lontara’, keadaan
yang demikian itu berlangsung kurang lebih tujuh pariyama lamanya. Menurut
hitungan lama, satu pariyama mungkin sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu
pada perhitungan ini maka dapat dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri
Galigo telah hilang 700 tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya
mengalami kekacauan yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.
Adapun awal datangnya seorang arung
(raja) di Bone yang dikenal dengan nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE,
ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi
yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting
beliung yang sangat keras.
Ilustrasi Petir |
Setelah keadaan itu reda dan sangat
tak terduga, tiba-tiba di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri
dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka
orang menyangkanya To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang
banyak pun pada datang untuk mengunjunginya.
Adapun kesepakatan orang yang
menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya menjadi arung
(raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak berkata ; ”Kami semua
datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang).
Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja).
Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak
isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung
menjawab ; ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya
tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba
sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya
bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata ; ” Bagaimana
caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung
menjawab ; ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan
tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata ; ”Kami
benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat
menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung
(konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut
menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota
Watampone sekarang).
Gejala alam yang mengerikan tadi
kembali terjadi. Guntur dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan
hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan
reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar
dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ;
satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu
orang lagi yang membawa salenrang.
To Manurung berkata ; ”Engkau datang
Matowa?”
MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang
disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang
banyak mendekati To Manurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada To
Manurung ; ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap.
Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami
mengangkatmu menjadi arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan.
Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau
berkenan memimpin kami”.
To Manurung menjawab ; ”Apakah
engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial
antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone
untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya
sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu
tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya,
sehingga digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang
menjadi Mangkau’ (raja) pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin
dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu
lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE
ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng
(menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk
kekerasan dan telah lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang
pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama
memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ;
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan
kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.
Hanya beberapa saat setelah
mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE
ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang
dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran.
Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya
sebagai arung (Mangkau’) di Bone.