Radja Palacca |
Batavia di abad ke-17 adalah arena di
mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa
Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi
napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya
mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik
dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik
kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan
filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana
srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka
menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Arung Palakka adalah potret keterasingan
dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia
terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung.
Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di
Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang
di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia
membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya
yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon
yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun
persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk
monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah
horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh
dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat
dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC
di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang
hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama
pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan
memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini
disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang
panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak
pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang
mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di
Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing
diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan
Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu
keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama
mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat
Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan
paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama
Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi
momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia
timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab
berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat
Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di
satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru
menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662,
dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang.
Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk
monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido.
Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan
VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke
situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan
Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau
hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus
hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan
di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja
Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi
menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan
Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan
Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur.
Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya
pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga
tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu.
Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya
bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan
serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat
kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman
berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga
jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh
Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint
Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di
Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini,
berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya
Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga
berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan
Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda
dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam
penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya
dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Sedang Arung Palakka disingkirkan secara
halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone,
kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini
dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua
kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan
diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan
bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan
menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri
sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.