Kamis, 09 Agustus 2012

Raja Bone II (La Ummase’ Petta Panre Bessie 1358 – 1424)

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone.Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone. (Makkulau, 2009).
Makam raja-raja Bone yang terletak di Bukaka

La Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai rakyatnya karena selain merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan seperti berdaya ingat tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana. Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002).

Dengan diplomasi politik yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II (1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur, tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”. (Kasim, 2002). Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya nantinya menggabungkan diri dengan Bone. 

Sasaran upaya perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu ditujukan ke arah pantai Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang terletak di pantai barat Teluk Bone). Cellu pada masa itu menguasai Bandar yang sekarang menjadi Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas daerah pantai ini, sangat strategis artinya, dilihat dari segi politik dan sosial ekonomi. Karena suatu Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim, 2002). 
 
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan, ”Kalau Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya dan ditanam tembuninya”. Tidak berapa lama lahirlah anak laki - laki sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka La Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu menyakitkan hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.

Arumpone La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’ dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’ (menyatakan ikrar setia). 
 
Dilantiklah La Saliyu Karampelua kecil oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya menjadi Arumpone. Gelar Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau, 2009) (***)